ShoutMix chat widget

Selasa, 25 Mei 2010

OXIDATION POND (Kolam Oksidasi)

          Jumlah industri penghasil berbagai macam produk guna memenuhi kebutuhan manusia saat ini makin meningkat. Hal ini juga akan menyebabkan peningkatan hasil limbah. Limbah menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001 merupakan sisa dari suatu usaha dan atau kegiatan. Limbah selain berasal dari industri (industry), juga dapat berasal dari rumah tangga (domestic). Berdasarkan sifatnya limbah dibedakan menjadi tiga, yaitu limbah padat, cair dan gas. Limbah padat adalah hasil buangan industri yang berupa padatan, lumpur, ataupun bubur yang berasal dari sisa kegiatan atau proses pengolahan. Contohnya antara lain adalah limbah dari pabrik gula berupa bagase dan limbah dari industri pengolahan unggas. Limbah cair adalah sisa dari proses usaha dan kegiatan yang berwujud cair. Contohnya antara lain adalah limbah dari pabrik tahu dan tempe yang banyak mengandung protein dan limbah dari industri pengolahan susu. Sedangkan limbah gas atau asap adalah sisa dari proses usaha dan atau kegiatan yang berwujud gas atau asap. Contohnya adalah limbah dari pabrik semen.
          Limbah jika tidak diolah terlebih dahulu akan menimbulkan dampak merugikan bagi lingkungan yang selanjutnya akan sangat mengganggu dan mempengaruhi kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengelolaan limbah yang baik untuk meningkatkan pencapaian tujuan pengelolaan limbah (pemenuhan peraturan pemerintah), upaya meningkatkan efisiensi pemakaian sumber daya dan menjaga kualitas lingkungan.

image
          Berbagai teknik pengolahan limbah untuk menyisihkan bahan polutan telah dicoba dan dikembangkan. Teknik-teknik pengolahan air buangan yang telah dikembangkan tersebut secara umum terbagi jadi 3 metode pengolahan, yaitu pengolahan secara fisika, kimia, dan biologi. Untuk suatu jenis limbah, ketiga metode pengolahan tersebut dapat diaplikasikan secara sendiri-sendiri atau kombinasi. Pengolahan secara fisika atau primary treatment bertujuan untuk memisahkan padatan dari air secara fisik. Hal ini dapat dilakukan dengan melewatkan air limbah melalui saringan dan atau bak sedimentasi. Pengolahan secara kimia atau secondary treatment untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan. Penyisihan bahan-bahan tersebut pada prinsipnya berlangsung melalui perubahan sifat bahan-bahan tersebut, yaitu dari tak dapat diendapkan menjadi mudah diendapkan (flokulasi-koagulasi), baik dengan atau tanpa reaksi oksidasi-reduksi, dan juga berlangsung sebagai hasil reaksi oksidasi. Sedangkan pengolahan secara biologi atau tertiary treatment yang merupakan kelanjutan dari pengolahan kedua dilakukan untuk menghilangkan unsur hara, khususnya nitrat dan fosfat. Pada tahapan ini juga dilakukan pemusnahan mikroorganisme parogen dengan penambahan Chlor pada air limbah. Salah satu cara dalam pengolahan limbah secara biologi adalah dengan menggunakan kolam oksidasi.
          Kolam oksidasi merupakan salah satu jenis teknologi pengolahan air limbah biologis aerobik yang paling sederhana dan tertua serta merupakan perkembangan dari cara pembuangan limbah cair secara langsung ke badan air. Bentuk kolam oksidasi antara lain aerobic pond, aerated lagoon, dan fakultatif pond. Pemenuhan oksigen dalam kolam oksidasi diperoleh dari absorpsi secara difusi, pengadukan permukaan, dan fotosintesis dari keberadaan algae. Bakteri dan ganggang merupakan mikroorganisme kunci dalam jenis pengolahan limbah ini. Adapun permasalahan kolam diantaranya konsentrasi dari mikroorganisme yang relative kecil, efisiensi penurunan zat-zat organik yang terbatas, efisiensi tidak stabil, dan keadaannya yang masih memerlukan lahan luas. Kolam oksidasi ini biasanya digunakan untuk proses pemurnian air limbah setelah mengalami proses pendahuluan. Fungsi utamanya adalah untuk penurunan kandungan bakteri yang ada dalam air limbah setelah pengolahan

DAFTAR PUSTAKA

• Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah. 2007. Pengelolaan Limbah Industri Pangan. Jakarta: Departemen Perindustrian
• Loehr, R.C. 1974. Agricultural Waste Management. New York: Academic Press
• Sugiharto. 2005. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: UI Press.

• Sunarno. 2002. Pengolahan Air Limbah Organik Dengan Proses Biologis Aerobic. _____
• Sri Laksmi Jenie, Betty dkk. 1993. Pengelolaan Limbah Industri Pangan. Yogyakarta: Kanisius
• Yunasfi. 2002. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Untuk Sektor Kehutanan. Sumatera Utara : USU digital library

<DOWNLOAD selengkapnya>

Minggu, 02 Mei 2010

KURANG ENERGI PROTEIN (KEP)

          Kurang Energi Protein (KEP) adalah kondisi rendahnya konsumsi energi protein yang merupakan salah satu masalah gizi kesehatan masyarakat dan masih menjadi masalah utama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Sungguh keadaan yang miris jika mengingat negara Indonesia yang agraris dan kaya akan hasil alam. Malnutrisi ini sering dialami oleh anak-anak di bawah usia 5 tahun (balita) sehingga perlu adanya perhatian dan penanganan serius untuk itu.

          Diantara 68 penderita KEP usia di atas 12 bulan, 48,53 % mengaku melakukan imunisasi tidak lengkap dan 42,64 % tidak pernah diimunisasi (Anton, 2000). Hal ini mencerminkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan masih sangat minim apalagi mengenai konsumsi makanan bergizi bagi balita. Laju pertumbuhan penduduk yang mulai tidak diimbangi dengan pertambahan ketersediaan pangan menyebabkan krisis pangan yang juga menjadi salah satu faktor pemicu KEP. Bukan hanya itu, tradisi dan kebiasaan masyarakat mengenai cara pengolahan dan penyajian, masih dibawah standar angka kecukupan gizi apalagi terkait kontinuitas pemberian ASI eksklusif. Selain hal yang berkaitan dengan makanan, faktor lingkungan dan ekonomi juga cukup berperan. Walaupun demikian, kenyataannya masih banyak faktor lain sebagai pemicu KEP balita diantaranya penyakit infeksi maupun malabsorbsi yang berujung pada kondisi kekurangan energi protein.

      image    

Apabila masalah tersebut hanya didiamkan akan menjadi indikator menurunnya derajat kesehatan masyarakat, terganggunya pertumbuhan dan perkembangan anak, bahkan menjadi salah satu penyebab kenaikan angka kematian balita (Sihadi, 2000). Defisiensi macro nutrient ini diindikasi dapat menurunkan mutu fisik, intelektual, daya tahan tubuh, dan menghambat aktivitas kognitif balita.

          Secara sederhana, gejala KEP ditandai dengan lebih rendahnya rasio berat dan tinggi badan balita dengan rasio seumurannya, menurunnya ukuran lingkar lengan atas dan berkurangnya ketebalan lipat kulit normal. Faktor biologis ini biasanya disertai berat badan lahir rendah (BBLR) di setiap bagian awalnya. Gejala/ tanda klinis lain yang biasanya terjadi adalah diare, muntah, mual, demam, maturasi tulang terlambat, bahkan dapat berujung menjadi kwarshiorkor, marasmus, kwarshiorkor-marasmus dan fatalnya adalah suatu kematian. Adapun penyakit penyerta KEP yaitu : gastroenteritris, dehidrasi berat, dll.

          Berdasarkan penelitian Anton Kristijono (2000), sebesar 60,20 % dari 98 balita KEP adalah perempuan usia 12-23 bulan. Hal ini setidaknya dapat membantu tenaga kesehatan untuk membuat perencanaan terkait program upaya kesehatan masyarakat. Distribusi KEP hampir di setiap wilayah di Indonesia dan Jember menduduki prevalensi tertinggi di Jawa Timur (Yumarlis, 2009). Penyebaran KEP di Indonesia sendiri dimulai dari pulau Lombok, NTT, Bogor, Jawa Tengah, Cilacap, Rembang, dll. Kenyataannya, walaupun masalah gizi ini cenderung meningkat di daerah perkotaan tetapi keadaan status gizi balita yang tinggal di pedesaan masih lebih memprihatinkan dibandingkan yang berada di perkotaan.

          Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah dan memperbaiki keadaan tersebut dengan meningkatkan kesehatan dan sosialisasi KIE ibu hamil; memperhatikan tumbuh kembang fisik, mental, dan sosial balita; mempertimbangkan kebutuhan dan daya beli masyarakat dengan baik; memperhatikan tata laksana status gizi balita. Berdasarkan penelitian Novella Marizza (2007), dinas kesehatan biasa melakukan pemberian PMT, nutrition training bagi tenaga dan kader kesehatan, perencanaan dan pengembangan sistem informasi kesehatan. Selain itu perlu adanya upaya revitalisasi posyandu atau puskesmas baik dalam penimbangan rutin balita serta upaya kesehatan ibu dan anak. Diharapkan akan terjadi pemerataan kendali melalui pengawasan dan pengasuhan langsung oleh setiap ibu balita sesuai dengan anjuran petugas kesehatan

DAFTAR PUSTAKA

Kristijono, Anton. 2000. Karakteristik Balita Kurang Energi Protein (KEP). Aceh : Balai Penelitian Kesehatan Depkes RI

____. 2009. Tiap Bulan, Tiga Bayi Jember Dirawat Karena Gizi Buruk. Jember : TEMPO Interaktif

Suryadi, Edwin Saputra. 2009. Kejadian Kekurangan Energi Protein. Jakarta : Universitas Indonesia